TUGAS REVIEW
SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
“ Taha>fut al-Taha>fut “
(The Incoherence of the Incoherence)
(IBN RUSHD) AVERROES
![]() |
Oleh :
Muliatul Maghfiroh
NIM: F05411134
Dosen Pembimbing:
Dr. Biyanto
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
Peristiwa penting dalam sejarah pemikiran Islam yang mencerminkan permusuhan antara filsafat dan agama adalah perbedaan pandangan antara al-Ghazali dan Ibn Rushd. al-Ghazali sampai mengumumkan bahwa para filosof telah kafir, permasalahannya karena menurutnya mereka terpengaruh oleh para filosof Yunani[1].
Al-Ghazali dalam buku Taha>fut al-Fala>sifah, mengkritik para filosof pada 20 persoalan yang ia batalkan, 17 persoalannya adalah persoalan-persoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu substansinya, sedangkan 3 persoalan yang dibantah logikanya, dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan jika mempercayainya. Dengan demikian sasaran al-Ghazali adalah membantah semua yang berasal dari filosof, karena menurutnya bertentangan dengan akidah[2].
Sementara itu Ibn Rushd berusaha menjelaskan bahwa permasalahan-permasalahan yang membuat al-Ghazali mengkafirkan para filosof bukanlah seperti yang ia interpretasikan. Kelemahan pandangan al-Ghazali dikemukakan dalam kitabnya yang fenomenal yaitu Taha>fut al-Taha>fut. Perdebatan pemikiran antara Ibn Rushd dengan al-Ghazali itu yang melatar belakangi penulisan review buku Taha>fut al-Taha>fut.
REVIEW BUKU TAHA>FUT AL-TAHA>FUT.
I. Kekekalan Alam
1. Kejadiaan alam ini tidak terjadi karena dicipta, diwujudkan dan diadakan sekaligus. Alasannya pekerjaan tersebut tidak diselesaikan pada suatu waktu tertentu dan terbatas, dan setelah itu kosong dari pekerjaan, sebagaiman yang tergambar dalam perjanjian lama. Yang terjadi adalah perbuatan mengadakan (ijad), menciptakan, mengganti dan merubah yaitu pekerjaan yang abadi dan terus menerus didalam wujud ini.
2. Ibnu Rushd menolak konsepsi Asy’ariyah mengenai huduts (kebaruan alam) serta pendapat mereka bahwa yang ada (wujud alam) telah diciptakan dari bukan sesuatu (ex nihilo), karena Tuhan adalah pencipta.
3. Ibnu Rushd telah mengesampingkan adanya “yang baru karena jenis”, sehingga dengan sendirinya harus juga dikesampingkan adanya “ ketiadaan yang absolut” dan “ kehancuran absolut”.
4. Ketidak mungkinannya adanya “ tiada absolut” yang berarti “ kehancuran absolut “sangat penting dari segi penolakannya terhadap terjadinya akhiran (nibyah) pada wujud ini sebagaimana pentingnya penolakan yang dilakukan terhadap adanya permulaan (bidayah ) pada wujud ini.
II. Tanggapan Ibn Rushd terhadap Kritik al-Ghazali
a. tentang qadimnya alam Ibn Rushd mengatakan bahwa para Filosof meyakini alam ini qadim. Qadim yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma> huwa fi> h}udu>th da>’im), maksudnya tidak mempunyai permulaan waktu. Pendapat ini disimpulkan dari pandangan mereka bahwa alam ini diciptakan dari sesuatu, bukan dari “tiada” menjadi “ada” (creatio ex nihilo), seperti pendapat al-Ghazali yang dikutip oleh para teolog. Argumentasi Ibn Rushd adalah jika memperhatikan proses kejadian benda di alam, akan terlihat bahwa semuanya terwujud dari sesuatu yang ada. menurutnya creatio ex nihilo tidak mungkin terjadi. Yang terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk yang lain.
b. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut Ibn Rushd, Filosof sebenarnya bukan mengingkari kemahatauan Tuhan, akan tetapi bertolak dari pemikiran mereka yang menyamakan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia terbagi menjadi dua, yang bersifat khusus dan umum. Yang khusus diketahui manusia melalui panca indra dan yang umum didapati melalui akal. Tuhan bersifat immateril yang tidak berpanca indra, lalu kaum filosof mempertanyakan cara Tuhan mengetahui perincian yang bersifat khusus itu, jadi Filosof hanya mempertanyakan.
c. Tentang adanya pembangkitan. Menurut Ibn Rushd, yang dimaksud Filosof adalah tidak adanya pembangkitan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Yang penting bagi manusia itu adalah jiwa, bukan jasmaninya. Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan jiwa (rohani) yang dapat diperoleh dengan jalan kontemplasi dan menjauhkan diri dari ketertarikan dengan benda-benda materiil, dengan cara meninggalkan kesenangan jasmani. Di akhirat hanya ada kesenangan jiwa, sehingga jasmani tidak dapat dibangkitkan. Ibn Rushd sendiri melihat ada pertentangan di dalam pendapat al-Ghazali. Dalam bukunya Taha>fut al-Fala>sifah, al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani, tetapi dalam buku yang lain, ia mengatakan kebangkitan mungkin terjadi dalam bentuk rohani.
III. Eksistensi Tuhan
Rushd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Argumentasi yang digunakan oleh Ibn Rushd adalah dengan jalan pembuktian melalui isyarat-isyarat yang terkandung di dalam al-Qur'an. Ada dua cara atau dalil yang dipahami oleh Averroes untuk menunjukkan wujud Allah, yaitu dalil al-'Ina>yah al-Ila>hi>yah (atau disebut dengan dalil ina>yah) / penciptaan Tuhan dan dalil al-ikhtira> / ciptaan. Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang awam dan Filosof, dan bisa diterima keduanya. Perbedaan keduanya hanya besifat kualitatif saja. yaitu Filosof mempunyai kelebihan tentang perkara yang diketahuinya dengan pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian fikiran yang meyakinkan (burha>n). Adapun orang awam cukup pengetahuan pertama dari indra-indra untuk membuktikan adanya ina>yah dan ikhtira>.
IV. Esensi Tuhan
Ibnu Rushd telah memastikan diri hendak menampilkan konsepsinya mengenai esensi Tuhan, yakni konsep yang ada dalam tataran filsafat setelah ia meyakini seyakin-yakinnya mengenai landasan dan pembahasan antara posisi filsafat dan teks-teks al-Qur’an dalam masalah ini dan sesudah melakukan takwil dan mengetahui makna batinnya. Ibnu Rushd mengemukakan konsepsinya tersebut yang merupakan titik pertemuan antara materialisme dan idealisme dari sudut pandang para pemikir muslim yang menggemakan kata tawhid, tanzih dan tajrid, khususnya golongan mu’tazilah yang disebut sebagai filosof ketuhanan islam. Ia menjelaskan hal itu dengan mengatakan: Pendirian para Filosof mengenai sebab pertama adalah mirip dengan pandangan Mu’tazilah.
Menurut Ibn Rushd sebab pertama dapat diringkas dengan kalimat “ bahwa sebab pertama bagi wujud ini adalah potensi yang memelihara wujud ini berdasar ketentuan yang diatur dengan disertai susunan dan hubungan-hubungan dialektik menyeluruh yang berupa pengetahuan yakni akal wujud, ilmunya, aturannya, dan penggeraknya yang bebas dari materi serta tidaka ada keserupaan dengan sesuatu apapun yang dapat tergambar dalam pikiran manusia”.
Adapun dalil yang bersumber dari Ibnu Rushd yang dapat mengantarkan kepada pengertian mengenai konsep tersebut adalah sebagai berikut :
a. Esensi Tuhan adalah akal Absolut, artinya Ia bukan materi dan bukan yang ada dalam materi, melainkan akal wujud ini, yakni aturan wujud atau ketentuan-ketentuan yang sistematik. Dalam hal ini ia berbicara mengenai para filosof dengan mengatakan “ bahwa ketika mereka mengetahui bahwa aturan yang ada di alam ini dan bagian-bagiannya adalah berasal dari ilmu yang mendahuluinya, dan mereka menyatakan bahwa akal dan ilmu adalah asal alam yang membuatnya ada dan rasional”.
b. Disamping konsepsinya mengenai esensi Tuhan adalah sebab pertama dalam wujud ini sebagai akal absolut, Ibn Rushd juga menggambarkannya sebagai ilmu absolut musrni bagi wujud ini. Artinya bahwa ketinggian dan kekuasaannya menjadikannya berada di tempat yang dikuasaianya dan bukan yang dikuasai oleh wujud lain. Jadi Esensi mengetahui hal-hal yang universal dan yang artikular dengan cara yang berbeda dari cara yang dikenal manusia.
c. Ibnu Rushd membatasi peran sebab pertama ini di dalam wujud ini hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan ( fi’il ), pengadaan ( ijad ) dan penciptaan ( khalq )
Konsepsi yang ditolak dan diserang oleh Ibn Rushd itu adalah konsepsi yang ditolak dan diserang oleh para filosof yang mengemukakan konsep filosofis materealistik mengenai alam, wujud, dan natur.
V. Emanasi
Ibn Rushd sangat gigih mengkritik bahkan menyerang pendapat-pendapat para filosof yang berbicara mengenai emanasi, seperti al-Farabi dan Ibn Sina. Sasarannya adalah untuk mengembalikan ( pendapat dalam masalah tersebut ) kepada pandangan Aristoteles, disamping itu ia tidak melihat ada seseorang yang dengan baik dan rasional berbicara mengenai emanasi tersebut.
Ibn Rushd menjelaskan mengenai “ pluralitas” (alam) keluar dari “ yang satu” ( Tuhan ), agar tidak terjatuh pada pandangan seperti yang menjerumuskan al-Farabi dan Ibn Sina di Dunia Arab Timur. Menurutnya bahwa filosof kuno telah memisahkan antara al-mawjud al-mufariq ( wujud terpisah ) dengan al-mawjud al-hayulani al-mahsus ( wujud material yang sensibel ) dan menempatkan dasar-dasar yang dituju oleh hal-hal yang sensibel itu tidak sama dengan dasar-dasar yang dituju oleh wujud rasional. Semua maujud yang sensibel itu terdiri dari materi dan bentuk. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian menjadi pelaku bagi yang lainnya, sampai akhirnya meningkat menjadi benda langit. Demikian juga mereka menyatakan bahwa semua substansi yang rasional akan meningkatkan kepada Sumber Pertama dengan cara penyerupaan bentuk, penyerupaan tujuan dan penyerupaan pelaku.
Ibn Rushd mengatakan” dalam pandangan saya prisip-prinsip mereka yang menyatakan bahwa sebab adanya pluralitas adalah karena bertemunya penyebab yang tiga yaitu : a) al-Mutawassit{at b) isti’dada>t c) al-alat”. Kesemuanya itu bersumber dan kembali kepada satu, karena keberadaan masing-masing itu hanya karena satu sebab saja, yaitu penyebab yang menjadikannya banyak. Hal itu seperti penyebab pada banyaknya akal terpisah yang menjadi sebab pergantian sifat-sifat yang menyertai apa yang dipikirkannya dari wujud pertama, dan yang menunjukkan adanya keesaan yaitu perbuatan seseorang pada jiwa orang banyak karena banyaknya pelengkap seperti keadaan pada seorang pemimpin yang mengetuai banyak kepemimpinan, dan seperti satu pekerjaan yang dibawahnya masih ada pekerjaan lain.
Demikianlah review buku taha>fut al-taha>fut semoga berkenan, dan sebagai penulis mohon maaf sebelumnya, jika banyak kesalahan dalam penulisan review ini, karena ada peribahasa “ Tiada Gading Yang Tak Retak “.
[1] Al-Ghaza>li,Taha>fut Al-Fala>sifah, 60. Diantara hukum yang dijatuhkan kepada para filosof dalam kerangka agama seperti perkataan orang : “ Ketika Aristoteles berkeliling dengan membawa pemikirannya yang tidak bersandar pada suatau kitab dari langit dan juga tidak pada sabda seorang rosul, berarti ia telah sesat di jalan dan kehilangan arah, karena akalnya sendiri tidak mampu menjangkau “. ( al- Zaurani, Al-Mukhtabat al-Multaqathat min kitab Ikhbar al-Ulama’ bi Akhbar al-Hukama’ li al-Qifti, h.51 )
[2] Allard, Le Rationalisme d’ Averroes; Duhem, Le Systeme du Monde, Vol IV, 501.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar