BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat
penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua
dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan
menyosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis[1].
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan
pribadi seseorang. Kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena
pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas,
potensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui
menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran dari kurang paham menjadi
paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi
paripurna. Sebagaimana tujuan pendidikan menurut Sistem pendidikan nasional (
SISDIKNAS ) UU RI No Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab[2] “
Dengan
demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk
anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek
skill, kognitif, afektif, psikomotorik, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini
membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan
diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan
menjadi pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif dan
spiritual.
Etika maupun akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan
berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika
yang baik dan mulia (akhlaqul karimah). Mengingat dengan etika akan
membentuk bangsa yang berkarakter dan
memiliki jati diri. Filsafat etika merupakan salah satu khazanah intelektual
muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dnirasakan. Islam memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap etika yang dapat dilihat secara historis
maupun teologis dalam ajaran Islam itu sendiri.
Begitu banyak intelektual muslim yang telah membahas akhlak secara filosofis,
diantaranya adalah ibnu Miskawaih, Abu
bakar Ar-Razi, Ikhwan ash-Shafa, Al-Ghazali, dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai pemikiran Ibnu
Miskawaih yang tertuang dalam kitab Tahdzib al-akhlak wa Tathhir al-A’raq mengenai pendidikan etika Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang
diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana
biografi Ibnu Miskawaih?
2. Bagimanakah
Pendidikan akhlak dalam kitab Tahdzib al-akhlak wa Tathir al-A’raq karya
Ibn Miskawaih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH
Nama
lengkap beliau adalah Abu Ali Al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn
Miskawah dengan gelar Ibnu Miskawaih[3].
Belum dapat dipastikan, apakah dia sendiri atau dia adalah putra ( ibn )
Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergrtrasser menerima
alternatif pertama, sedangkan lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternatif
yang kedua[4]. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang
semula beragama Majusi ( Persi ) yang kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu
Ali, yang diperoleh dari nama para sahabat Ali bin Abi Tholib yang mana bagi
kaum Syiah dipandang sebagai pihak yang berhak menggantikan Nabi Muhammad dalam
kedudukannya sebagai pemimpin umat islam sepeninggalnya. Dari gelar ini, tidak
salah apabila ada orang yang kemudian mengatakan bahwa Miskawaih adalah
tergolong penganut aliran Syiah[5].
Ibnu
Miskawaih dilahirkan di Rayy ( Iran )
sebelah selatan kota Teheran. Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkan berbeda-beda, M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth
menyebutkan tahun 330 H/941 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H[6].
Ibnu Miskawaih berumur cukup panjang dan meninggal dunia di Isfahan pada
tanggal 9 safar tahun 421 H/16 februari 1030 M[7].
Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada dibawah pengaruh dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang
sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi’ah[8].
Ia berdarah Persi yang hidup tumbuh dan berkembang tengah-tengah masyarakat
elite Arab. Memang orang Persi pada masa mula perkembangan Islam banyak yang
menjadi pejabat pemerintahan Arab Islam. Diantaranya adalah Abu Muhammad
Abdullah ibnu Maqaffa' wafat tahun 142 H. Orang Arab dalam menyelenggarakan
pemerintahan mengangkat orang-orang Persi yang memang mereka itu pilih tanding
dalam intelektual, penguasaan ilmu bahasa, hikmah dan sejarah. Ibn Miskawaihi
salah seorang intelektual mereka, pakar dalam ilmu sejarah, banyak melahirkan
karya tulis. Di bawah pemerintahan inilah dia bekerja dengan para wazir dan
amir. Pertama kali dia bekerja pada wazir Al-Mahallabi ibn Abi Shafrah tahun
348 H, sebagai sekretarisnya. Setelah wazir ini wafat dia kembali ke Ray dan
bekerja menjadi kepala perpustakaan wazir Ibnu Amid. Setelah wazir ini wafat
tahun 360 H, dia masuk penjara pada tahun 366 H. Sesudah itu dia bekerja lagi
di perpustakaan Adludullah ibn Buwaihi. Disinilah dia mendapatkan ketenteraman
dan kenyamanan dalam hidupnya. Pada masa itu Dinasti Buwaih adalah pada masa
‘adhud al-Daulah ( tahun 367 H-372 H ). Perhatiannya amat besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusteraan, dan pada masa inilah Ibnu
Miskawaih mendapatkan kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud al-Daulah[9].
Dia pun dijuluki Abu al-Khazin (
Sang Penyimpan), karena Ia menyimpan buku-buku milik Khalifah Al-Malik ‘adhud
al-Daulah bin Buwaihi, yang berkuasa dari tahun 367 H hingga 372 H. Ibnu
Miskawaih adalah orang yang dihormati dan sangat dekat dengan kholifah[10].
Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai filsuf, tabib, ilmuwan dan
pujangga. Demikianlah Ibnu Miskawaihi berpindah-pindah mengabdi dari satu
pejabat ke pejabat tinggi lainnya, di dalam pemerintahan Bani Buwaihi sampai
wafatnya tahun 421 H di Isfahan dalam usia 91 tahun.
Karier
akademisnya diawali dengan menimbah ilmu pengetahuan di Baghdad dalam bidang
sastra. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat,
akhirnya Ia lebih memusatkan pada bidang sejarah dan etika[11].
Ibnu Miskawaih belajar Sejarah, terutama Tarikh al-Thabari ( Sejarah
yang ditulis oleh At-Thobari) pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi pada tahun
350 H/960 M[12].
Sementara filsafat, Ibnu Miskawaih mempelajarinya dari ibnu al-Khammar, yaitu
seorang Mufassir kenamaan dan pensyarah karangan-karangan Aristoteles. Ibnu
Miskawaih mengkaji ilmu kimia bersama Abu al-Tayyib al-Razi, seorang ahli kimia[13],
dan Ibnu Miskawaih sangat senang mengkaji aspek psikologis dan sosiologisnya.
Ibnu
Miskawaih adalah seorang filsuf muslim yang telah mengabdikan seluruh perhatian
dan upayanya yang barangkali jauh melebihi pemikir Islam lain manapun dalam
bidang etika, tetapi beliau bukan hanya peduli pada etika melainkan juga pada
filsafat yang mengandung ajaran-ajaran etika yang sangat tinggi. Sebagai
filsuf, Ibnu Miskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu
Miskawaihlah yang mula-mula mengemukakan teori etika sekaligus menulis buku
tentang etika[14].
Selain
mendapatkan gelar Bapak Etika Islam, Ibnu Miskawaih juga digelari Guru
ketiga ( al-Mualimin
al-Tsa>lits ) setelah al-Farabi yang digelari guru
kedua ( al-Mualimin
al-Tsa>ni) sedangkan yang dianggap guru pertama (
al- Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam,
beliau telah merumuskan dasar-dasar etika adalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak
wa Tathir al-A’raq ( pendidikan budi dan pembersihan akhlak ). Sementara
itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat Yunani,
peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi[15].
Tentang
kepribadiannya, dari pernyataan Iqbal, bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang
pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi yang terkenal. Ia sangat mengabdi
pada guru-gurunya. Ibnu Miskawaih berupaya mengikuti lima belas petunjuk moral.
Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang
serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional
merupakan petunjuk tersebut. Intinya, semua yang ia tulis dalam kitab Tahdzib
al-Akhlak tentang etika ia mencoba melaksanakannya dengan baik. Oleh karena
itu, pantas ia dikatakan sebagai filsuf Islam yang konsisten dan konsekuen
terhadap apa yang ditulisnya[16].
Al-Labib
pernah mengungkapkan bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang yang paling agung,
yang paling terhormat dikalangan orang non-Arab. Ia juga orang yang paling
kharismatik dikalangan orang-orang Persia[17].
Ibnu
Miskawaih dikenal sebagai pemikir yang produktif. Ia telah menghasilkan banyak
karya tulis, tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada[18].
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah[19],
15 buah sudah dicetak, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 18 buah karyanya yang
dinyatakan hilang[20].
Menurut ahmad Amin, semua karya Ibnu Miskawaih tersebut tidak luput dari
kepentingan filsafat etika. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tidak
mengherankan jika Ia dikenal sebagai moralis.
Karya-karya
Ibnu Miskawaih antara lain :
1.
Al-Fauz al-Akbar
2.
Al-Fauz al-Ashghar
4.
Uns al-Farid ( koleksi anekdot, sya’[ir, peribahasa dan kata-kata hikmah
5.
Tartib al-Sa’adah ( tentang akhlak dan politik )
6.
Al-Mustaufa ( Syair-syair pilihan )
7.
Jawidan Khira>d ( koleksi ungkapan bijak )
8.
Al-Jami’
9.
Al-Syiyar ( tentang tingkah laku kehidupan )
10.
On Simple Drugs ( tentang kedokteran )
11.
On the composition of the bajats ( seni memasak )
12.
Kitab al-Asyribah ( tentang minuman )
13.
Tahdzib al-akhlak ( tentang akhlak )
14.
Risalah fi al-Lazzah wa al-alam fi Juhar al-Nafs
15.
Ajwiba wa As’ila fi al-nafs wa al-‘Aql
16.
Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats
17.
Risalah fi jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan
al-shufi Haqiqoh al-‘aql
18.
Thaharoh al-Nafs[22].
B. PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH DALAM KITAB “ TAHZIB
AL-AKHLAK WA TATHHIR AL-A’RAQ“
Pemaparan etika
Islam menurut Ibnu Miskawaih, diawali dengan pembahasan tentang manusia dan
jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan etika
ialah mengenali jiwa. Sebagaimana dalam muqoddimah Tahdzib al-akhlak wa
tathhir al-a’raq, Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa tujuan menulis buku
tersebut adalah mengembangkan nilai etika dalam jiwa.
1. Dasar-Dasar
Etika Islam Ibnu Miskawaih
a) Konsep
Manusia
Ketika
orang memahami kata al-insan berasal dari kata al-nisyan,
seakan-akan ia memberikan justifikasi bahwa ketika manusia tidak menepati janji
atau mengerjakan hal-hal yang bersifat negatif dengan alasan lupa merupakan
kesalahan yang bersifat wajar-wajar saja.
Memang
manusia selalu luput dari kesalahan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad
SAW: “ Setiap keturunan Nabi Adam pasti berbuat kesalahan dan sebaik-baiknya
kesalahan adalah pertaubatan”. Bahkan dikatakan pula dalam pepatah : “ Manusia
(al-insan) adalah tempat salah dan lupa”.
Dalam
Al-Qur’an, kata al-insan identik dengan arti manusia yang menggunakan
rasionalitas dan akal budinya. Salah satunya, seperti yang tercatat dalam Surat
Al-Ashr 103: 1-3 yang berbunyi :
![]() |
||||
Artinya : 1. Demi masa. 2.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Q.S. Al-Ashr 1-3[23].
Kita
sebagai manusia tidak bisa mengingkari bahwa kita mempunyai potensi untuk
membuat kesalahan dalam hidup. Tapi ketika kita membuat kesalahan dalam hidup
dengan mengatasnamakan lupa adalah sesuatu yang keliru, karena pada dasarnya
kata al-insan bukan berasal dari kata al-nisyan.
Ibnu
Miskawaih menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filsuf al-insan.
Ia berpendapat bahwa kata al-insan ( yang berarti manusia dalam bahasa
Indonesia) berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy (
keintiman ) atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability
dan familiarity. Dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang
secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama
lainnya[24].
Menurut
pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan kerena dalam
kenyataannya manusia memiliki daya berpikir. Berdasarkan daya berpikir
tersebut, manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta baik
dan buruk. Dan manusia yang
kemanusiaannya paling sempurna ialah mereka yang paling benar cara berpikirnya
serta paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu untuk mewujudkan
kebaikan, manusia harus kerjasama. Usaha untuk mewujudkan kebaikan merupakan
indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu
sendiri[25].
b) Jiwa
Manusia
Para filsuf Islam memandang jiwa merupakan sesuatu
yang mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia[26]. Psikologi
Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles
dengan kecenderungan Platonis, namun dalam beberapa hal Ibnu Miskawaih
mengembangkannya dan meyelaraskannya sesuai dengan ajaran etika Islam.
Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan
keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya
"Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzibul Akhlak) adalah untuk
menghasilkan bagi diri kita suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang
baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya
perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis).
Hal demikian diperoleh melalui proses pendidikan dan
jalan untuk demikian lebih dahulu dipelajari ilmu jiwa. Apa dan bagaimana jiwa
itu?, Untuk apa dia diciptakan, kesempurnaannya, tujuannya, kemampuannya
"sifatnya" yang bila kita pergunakan/dibina sebagaimana mestinya,
niscaya jiwa itu akan-membawa kita, kepada martabat yang mulia.
Dan perlu pula kita pelajari faktor-faktor yang
menghambat jiwa itu dalam rnenuju martabat yang mulia, apa saja yang
mensucikannya dan apa yang mengotorinya, maka karena itu Allah berfirman dalam
Surah as-Syams ayat 9 & 10 :
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu (9), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10 )[27].
Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaihi adalah zat pada
diri kita yang bukan berupa jisim, bukan pula bagian dari jisim, bukan pula ‘aradl
(sifat peserta pada substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi
dia jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat
diindra oleh pengindraan"[28].
Jiwa itu mempunyai aktifitas yang berlainan dengan
aktifitas jisim serta bagian-bagiannya dengan segala sifat-sifatnya hingga
tidak menyertainya dalam segala hal. Bahkan juga berbeda dengan sifat ‘aradl
(accident) jisim serta berlainan sama sekali dengan jisim dan
sifat-sifat ‘aradl. Tegasnya jiwa itu bukan jisim, bukan pula bagian
dari jisim dan bukan pula sifat ‘aradl. Jiwa itu tidak mengambil ruang,
tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala sesuatu secara serentak
bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau berkurang.
Ibnu Miskawaihi memberi penjelasan lagi akan hal
tersebut di atas bahwa tiap jisim mempunyai shurah/ gambaran. Dia tidak akan
menerima shurah lain yang dari jenis shurah pertama kecuali sesudah jisim
melepaskan sama sekali shurah yang pertama. Contohnya bila jisim sudah menerima
suatu shurah / syakal umpamanya segitiga, maka dia tidak akan menerima lagi
syakal lain misalnya segi empat, bundar atan lainnya, kecuali bila jisim
melepaskan syakal pertama (segitiga). Demikian pula bila jisim menerima shurah
lukisan atau tulisan maka jisim itu tidak dapat menerima shurah lukisan/tulisan
lainnya kecuali sesudah shurah lukisan pertama/terdahulu lenyap samasekali.
Bila shurah terdahulu tetap masih ada bersisa, maka jisim tidak dapat menerima
secara utuh shurah yang datang kemudian lalu terjadilah campur aduk antara
kedua shurah itu, tak ada salah satupun diantara dua shurah itu yang bersih
samasekali. Contoh lain, sebatang lilin bilamana sudah menerima shurah lukisan
yang dicapkan atasnya, lilin itu tidak akan menerima cap lukisan berikutnya
kecuali jika shurah lukisan yang lama dihapuskan. Demikianlah hukum yang
berlaku pada jisim.
Berbeda halnya dengan sifat-sifat jiwa itu menerima
semua shurah dari segala sesuatu secara menyeluruh yang bermacam-macam, baik
yang mahsusaat (segala sesuatu yang diindera) ataupun yang berupa ma'qulaat
(pengertian-pengertian) dengan sempurna, tanpa melepaskan shurah yang terdahulu
atau menggantikannya ataupun melenyapkannya, bahkan gambaran (shurah) terdahulu
dengan sempurna tetap bertahan, juga shurah yang datang berikutnya tersimpan
dengan sempurna. Kemudian jiwa terus menerus menerima shurah demi shurah tanpa
kelelahan dan kealpaan ketika menerima shurah baru datang. Bahkan shurah
terdahulu bertambah kuat dengan kedatangan shurah berikutnya. Inilah
sifat-sifat khusus pada jiwa yang berlainan dengan sifat-sifat khusus pada
jisim. Karena faktor inilah penalaran dan pemahaman manusia berkembang teras
manakala dia terlatih dan berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan
kebudayann. Jadi jiwa itu bukanlah jisim/tubuh[29].
Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aql fa’al).
Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak adapat diraba oleh
salah satu pancaindera[30].
Macam-macam kekuatan
berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada
kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki
kekuatan yang bertingkat-tingkat:
(1) Al-Nafs al-Bahimmiyyah ( Daya bernafsu ) adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kejahatan atau keburukan.
(2)
Al-Nafs
al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah ( Daya berani ) adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan
sesekali mengarah kepada kebaikan.
(3) Al-Nafs al-Nathiqah ( Daya berpikir ) adalah jiwa yang selalu mengarah kepada
kebaikan.
Ketiga daya ini merupakan daya menusia
yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs
Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs
an-Nathiqah) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat
bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama
hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran[31].
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan
jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah
(berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling
mempengaruhi.
2. Ajaran
Pokok Etika Islam Ibnu Miskawaih
a) Teori
Fadlail ( Keutamaan )
Konsep akhlaq yang di tawarkan oleh Ibnu Miskawaih
lebih di dasarkan pada doktrik jalan tengah( Nadzar al-Ausath ). Dengan
pengertian bahwa jalan tengah adalah dengan keseimbangan, moderat, harmoni,
utama, atau posisi tengah diantara dua ekstrem. Akan tetapi Ibnu Miskawaih
lebih menitik beratkan pada posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstreem
kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari keterangan diatas dapat ditarik
sebuah pemahaman bahwa ibn Miskawaih lebih memberi tekanan pada pribadi.
Dengan demikian, maka para hukama (failosof)
bersepakat menetapkan bahwa jenis fadilah empat yaitu: al-Hikmah, al-'Iffah,
as-Saja'ah dan al-Adlalah. Adapun lawannya empat pula yaitu al-Jahl
(bodoh), as-Syarh (rakus) al-Jubn (takut) dan Al-Jaur
(kelaliman).
Menurut Fazlur Rahman, bergeser dari moderasi ke
pihak manapun juga selalu menghasilkan kondisi setan yang efek-efek moralnya
tetap sama, yakni nihilisme moral. Sebab itu, jalan tengah tidak hanya
merupakan jalan yang terbaik, tetapi juga merupakan satu-satunya jalan[32].
Setiap keutamaan yang terdapat dalam jalan tengah
tersebut memiliki cabangnya masing-masing atau membawahi sifat-sifat yang baik
lainnya:
(1) Al-Hikmah (kebijakan) ialah fadlilah
sifat utama dari jiwa natiqah, jiwa pikir kritis analitis (Annatiqah al-mumayyizah)
untuk mengetahui (mengenali) segala yang ada karena keberadaannya, atau untuk
mengetahui hal ihwal ketuhanan dan hal ihwal kemanusiaan. Hikmah memiliki tujuh
cabang yaitu: ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas,
jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar sebagai pra kondisi. Dengan
demikian pengetahuan membuahkan pengenalan tentang al ma'qulat
(pengertian-pengertian tentang hal yang abstrak/yang metafisis) secara kritis
analitis, mana yang benar dipegangi, mana yang salah dibuangnya.
(2) Al-Iffah (kesucian diri) sifat
utama pada pengindraan nafsu syahwat al Hissussyahwani. Sifat utama ini
nampak pada waktu seseorang mengendalikan nafsunya (setelah responsi indra
terhadap suatu stimulus) dengan pertimbangannya yang sehat sehingga dia tidak
tunduk pada nafsunya itu, dia bebas dari perbudakan hawa nafsunya. Al-Iffah
memiliki 12 cabang, yaitu malu, kecenderungan terhadap kebaikan, meninggalkan
yang tidak baik, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja,
keteraturan, menghias diri dengan kebaikan,dan
kehati-hatian.
(3) As-Syaja'ah
(keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah. Sifat ini nampak
pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan oleh sifat utama
al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi
masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi
perkara-perkara yang menakutkan. Dia atasi perkara itu bila sikap demikian
dipandang baik atau dia menahan diri bila sikap demikian dipandang terpuji. Syaja’ah
berkembang menjadi 9 cabang yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan,
keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan dan memiliki daya
tahan yang kuat atau senang bekerja berat.
(4) Al-Adalah (keadilan) adalah
sifat utama pada jiwa sebagai produk dari integrasi (ijtima) yang serasi dari
tiga unsur jiwa yang telah disebutkan, dimana unsur al-Hikmah merupakan
faktor yang dominan. Keadilan ini dibagi menjadi 3 macam yaitu keadilan alam,
keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Sifat utama yang berada di bawah al
Adaalah yaitu: shadaaqah (persaudaraan), ulfah (kerukunan), silaturahim
(silaturrahmi), mukafa'ah (suka memberi imbalan), husnussyirkah
(baik dalam persekutuan husnulqadlaa (baik dalam pemberian jasa tanpa
penyesalan dan minta imbalan), tawaddud (upaya mendapatkan simpati dari
orang-orang mulia dengan jalan tatap muka yang manis dan dengan perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan cinta kasih dari mereka), ibadah (mengagungkan Tuhan,
mentaatiNya, memuliakan malaikat dan para Nabi dan alim utama, dan beramal
sebagaimana digariskan agama dan ketaqwaan akhir dari segalanya, tarkul
hiqdi (meninggalkan perasaan sentimen), membalas kejahatan dengan kebaikan,
mempergunakan keramahan), dalam segala hal selalu beralasan prestige/harga
diri, menjauhi persengketaan, meninggalkan pergunjingan, dan lain sebagainya
dari sifat-sifat baik dalam hubungan antara manusia.
Dengan
keberadaan al-Adalah itu, manusia memiliki simatun (ada tulisan Arab)
ciri. Pilihannya (sebagai balanced individual) yaitu dia bagian dari dirinya
sendiri dan bagian dari orang lain (bagian dari masyarakat)[33].
b) Teori
Kamal ( Kesempurnaan )
Substansi manusia mempunyai aktivitas yang khusus
yang tidak dimiliki oleh makhluk lain
di dunia ini. Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, tetapi
jika tidak melakukan perbuatan yang sesuai substansinya, maka ia seperti kuda
ataupun keledai. Ibnu Miskawaih memberikan perhatian khusus terhadap masalah hikmah
dan ‘adalah dimana terletak kamal khas insani.
Kesempurnaan manusia ada dua macam karena dua hikmah
yaitu:
1)
Nazhariyah
( teoritis )
Dengan
hikmah Nazhariyah ( teoritis ) manusia cenderung kepada berbagai ilmu
dan pengetahuan. Dengan hikmah ini, manusia akan rindu pada pengetahuan,
terwujud bila mendapatkan pengetahuan sehingga persepsinya, wawasannya dan
kerangka berpikirnya pun akurat. Dengan demikian, dia tak akan melakukan
kesalahana dalam keyakinannya dan tidak meragukan suatu kebenarannya.
2)
‘amaliyah atau
khuluqiyah ( praktis )
Sedangkan
hikmah ‘amaliyah atau khuluqiyah ( praktis ) merupakan tujuan Ibnu
Miskawaih membuat kitab Tahdzib al-akhlak wa Tathhir al-‘Araq ini yaitu
berupa kesempurnaan karakter.
Dimulai dari menertibkan pembawaan-pembawaan dan
aktifitas khusus bagi pembawaan itu hingga tidak terjadi benturan , tapi ia
akan hidup dengan harmonis dalam dirinya. Kemudian diakhiri dengan penataan
kehidupan sosial dimana tindakan dan pembawaan tertata baik dikalangan
masyarakat hingga terjadi keselarasan
dan masyarakat mencapai kebahagiaan seperti yang ada pada manusia. Ia demikian
percaya bahwa bila seseorang mengetahui keutamaan sesuatu ia akan melakukannya.
Ilmu Pengetahuan merupakan dasar dan amal perbuatan
merupakan kesempurnaan manusia. Dasar tanpa kesempurnaan maka suatu yang
sia-sia, sedangkan kesempurnaan tanpa dasar adalah sesuatu yang mustahil.
Kesempurnana
akan tercapai apabila keduanya tercapai, yaitu kesempurnaan yang bersifat
teoritis yang berkenaan dengan kesempurnaan praktis seperti bentuk dan materi
yang berarti tercapainya suatu sa’adah tammah. Apabila hanya mencapai
salah satunya bereti manusia tersebut hanya mencapai kamal naqish dan sa’adah
naqishah. Proses dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan terjadi sejak manusia
tersebut mengetahui hakikat segala sesuatu (idea) yang memancarkan perbuatan
kamal-kamal insani dimana tercapai tingkat ‘alim shaqir, lalu menyatukan
diri dengan semua gambaran hakikat dan perbuatan sedemikian rupa sehingga
menjadi khalifah dimana ia tiada lagi melakukan kesalahan dan tiadak keluar
dari sistem hikmah Allah yang pertama. Pada tahap ini menjadi’alim tamm,
sedang yang sempurna dari substansi adanya kekekalan dimana dia tidak akan
terputus dari kenikmatan dan kebahagiaan abadi, sebab dengan kesempurnaan
tersebut, dia telah siap menerima pancaran Ilahi yang kekal abadi, dan telah
dekat dengan –Nya sehingga tidaka da satu tabirpun yang memisahkan dia dengan
Tuhan. Inilah tingkatan paling tinggi dari kebahagiaan terakhir.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih
mengatakan, kalau individu manusia tidak dapat mencapai kedudukan tersebut,
menyempurnakan bentuk kemanusiaannya dengan kedudukan tersebut, dan memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya secara bertahap, maka keadaannya
sama seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai kemungkinan
untuk melakukan transformasi dan peningkatan diri menjadi yang lebih baik dan
pasti mustahil manusia dapat mencapai kekekalan dan kenikmatan abadi serta
kembali kepada Tuhan dan masuk dalam surga-Nya. Maka oarang yang tidak
mempunyai gambaran dan keyakinan tentang hal ini, yaitu yang ilmunya hanya
setengah-setengah dan dia akan jatuh kedalam keraguan dan mengira kerusakan
jasmani mengakibatkan manusia kehilangan hakikatnya, serta hidup melata seperti
binatang dan tumbuhan. Dikala itu ia berhak disebut kafir dan keluar dari inti
hikmah dan hukum agama[34].
c) Teori
Sa’adah ( Kebahagiaan )
Ibnu Miskawaih mengecam keras kaum matrealistik
biologik yang memandang bahwa manusia diciptakan dengan segala potensinya
hanyalah merealisasikan kenikmatan-kenikmatan biologis. Hal ini merupakan
pandangan orang-orang awam dan bodoh yang meridukan kenikmatan material di
surga, dan dimintanya dari Allah sebagai upah bagi yang bermental kuli dan
pedagang.
Bagi Ibnu Miskawaih kebahagiaan di akhirat terletak
pada kenikmatan ruhani. Sebab kenikmatan di surga itu sempurna dan abadi yang
terus menerus, sedangkan kenikmatan material harus didahului oleh sakit dan
berbagai kekurangan dimana kenikmatan adalah akhir dari sakit.
Sa’adah merupakan khair
yang relatif ( individual ) sehingga tidak mempunyai standar yang pasti. Ibnu
Miskawaih menunjuk beberpa teori sa’adah dari berbagai filsuf, yaitu :
1) Pyitaghoras,
Socrates dan Plato melihat bahwa keutamaan dan kebahagiaan hanyalah terdapat
pada kualitas ruhani manusia. Sebab badan hanyalah alat atau kendaraan bagi
ruhani. Mereka juga berpendapat bahwa kebajikan-kebajikan tersebut cukup untuk
kebahagiaan, apabila manusia telah menerima semua keutamaan-keutamaan
2) Menurut
kaum Stoika dan ahli fisika, badan merupakan bagian dari hakikat manusia, bukan
sekedar alat ruhani dan jasmaniah. Ini sama dengan teori Aristoteles hinggah sa’adah
tammah ada pad lima hal yaitu: kesehatan badan, kekayaan, pangkat dan
kehormatan, sukses dalam berbagai urusan dan tajamnya pandangan, sehatnya
pemikiran dan selamatnya keyakinan mengenai agama.
3) Menurut
sebagian filsuf kebahagiaan adalah sesuatu yang tetap, tidak hilang, tidak berubah-ubah
dan tidak sirna. Oleh karena itu, kebahagiaan utama hanya tercapai diakhir
sesudah manusia melepaskan jasadnaya dan segala naluri biologisnya[35].
Ibnu Miskawaih berusaha mengompromikan kedua teori
diatas dengan menunjuk hakikat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani yang
berakal.
d) Teori
Khairat ( Kebaikan )
Menurut Ibnu Miskawaih, Khairat adalah
sesuatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal kahs insani yang
melekat pada hikmah secara umum yang
meliputi fadhilah yaitu, hikmah,’iffah, syaja’ah dan ‘adalah. Sebab itu Khair
itu bermacam-macam, yaitu :
1) Secara
Kualitatif ada 4 macam, yaitu :
a. Syarifah, yang kemuliaannya
karena dzatnya, yakni hikmah dan akal
b. Mamduhah, keutamaan dan
perbuatan-perbuatan usaha yang baik.
c. Nafi’ah, segala sesuatau yang
dicari bukan karena dzatnya melainkan sebagain alat kepada kebaikan.
2) Dilihat
dari segi positifnya:
a. Ghayah (tujuan), yang terbagi
dua (1) tammah , yaitu sa’adah dimana kita tidak lagi membutuhkan
yang lain sesudahnya. (2) Ghoir tammakh, seperti kesehatan dan
kemudahan.
b. Bukan
tujuan, seperti pengobatan dan latihan/pendidikan.
3) Dilihat
dari segi efektivitasnya :
Ada
yang efektif karena dzatnya, ada yang karena lain hal, karena keduanya, dan
karena diluar keduanya.
a. Dilihat
dari segi sifatnya
Khair
mutlak, khair ketika darurat, disepakati sebagian
manusia saja pada saat tertentu saja, baik bagi semua manusia, baik sebagian saja,
baik segala seginya, dan sebagainya.
b. Dilihat
daris segi aradl yang kesepuluh :
Kapan,
bagaimana, jumlah, dimana Allah adalah khair pertama dan mutlak sebagai
sumber segala kebaikan yang sgegala sesuatunya bergerak menuju kepadanya.
Kebaikan selau membawa kebahagiaan, malah kebahagiaan itu sendiri merupakan
salah satu bentuk khair[36].
e) Teori
Mahabbah ( Cinta )
Menurut Ibnu Miskawaih cinta mempunyai berbagai
jenis dan sebab . terbaginya cinta menjadi jenis-jenis ini hanya karena sasaran
dan ,menjadi tujuan kehendak dan tindakan manusia. Ibnu Miskawaih
mengklasifikasikan cinta ada empat bentuk mahabbah yaitu :
1) Cinta
yang berdasarkan kenikmatan
Cinta
jenis ini cepat tumbuh dan cepat pudar, sebab kenikmatan sendiri cepat berubah,
sedang mahabbah itu pudar bersama lenyapnya sebab. Teorinya dalam kimia,
beberapa atom ( jauhar ) yang berbeda tidak mungkin menyatu dzatnya. Kalaupun
bertemu pada lapisan luar, pertemuan itu cepat pudar.
2) Cinta
yang berdasarkan manfaat
Cinta
jenis ini lambat tumbuh tetapi cepat pudar. Jiwa manusia yang terbentuk oleh
kenikmatan dan kemanfaat yang berlainan, bahkan sering kontradiksi.
3) Cinta
yang berdasarkan kebaikan
Cinta
ini cepat tumbuh tapi lambat pudar, dan hanya ada dikalangan orang-orang akhyar.
4) Cinta
perpaduan antara ketiganya
Cinta
yang terbentuk dari perpaduan sebab-sebab ketiga unsur tersebut. Bila cinta
tersebut mnegandung khair, maka cinta itu akan lambat tumbuh dan lambat
pudar. Sebab tersebut adalah landasan yang menjamin persatuan dan kesatuan yang
kokoh dan kekal dalam satu komunitas, hanyalah mahabbah dan mawaddah yang
terbentuk oleh jauhar ilahi dalam diri manusia, yang bersih dari kotoran
syahwat dan dapat menatap kebaikan
sejati pertama kemana ia harus bergerak dan mendapat limpahan cahaya-Nya.
Potensi Mahabbah yang suci ( Mahabbah Ilahiah ) inilah yang harus dicari
dan dipelihara bersama oleh anak-anak adam[37].
Ibnu Miskawaih
mengenal dua tingkatan Cinta. Pertama cinta sesama makhluk. Kedua cinta
makhluk kepada Sang Khalik.
Mengenai etika pergaulan, Ibnu Miskawaih menekankan
cara mencari kawan dengan mengutip Sokrates, yaitu :
1) Menyelidiki
situasi pergaulan dalam keluarganya
2) Selidiki
pergaulannya dengan kawan-kawannya
3) Selidiki
sejauh mana ia berterimahkasih pada yang berhak
4) Perhatikan
apakah ia cenderung malas atau enggan untuk soal yang remeh sekalipun
5) Teliti
sejauh mana ambisinya terhadap kekuasaan dan kedudukannya
6) Apakah
ia menyepelekan nyanyian dan senda gurau yang tak berarti
Cara memelihara persahabatan antara lain, tidak
menyepelekan haknya, menampakkan wajah berseri ketika ia gembira dan turut
berduka dikala kesusuahan, serta menjauhi perilaku negatif seperti memperolokkan,
kikir tentang ilmu dan etika-etika islam tertentu misalnya membuka aaib, mengadu domba dan lain sebagainnya[38].
f) Aspek
sosial
Aspek sosial dalam filsafat etika Islam Ibnu
Miskawaih terdiri dari tiga asas yang merupakan hasil pendekatan multidisipliner:
metafisika, fisika, psikologi, sosiologi dan syar’i.
1) Hakikata
cara wujud manusia sebagai zoon politicon ( madaniyun bi al-thab’i
) dimanapun kesempurnaan hakikat manusia terletak pada adanya yang lain ( being
in communication )
2) Hakikat
keterbatasan manusia dalam merealisir khairat yang beraneka ragam.
3) Fitrah
manusia sendiri saling mencintai ( anisun bi al-thab’i ), yang gdari
kata uns itu diambil dari kata insan bukan dari kata nisyan (
lupa ). Sebab itu , wajib ada komunitas manusia yang hterdiri dari sejumlah
individu yang sama dan hidup bersama dalam prinsip mahabbah dan mawaddah, untuk
menyempurnakan hakikat diri dan merealisasikan kebahagiaan kolektif, sehingga
tercapailah khairat bersama dan sa’adah yang didistribusikan
dikalangan mereka dan terwujudlah kalam jenis insani, seperti sebuah tubuh yang
anggota-anggotanya satu sama lain saling mengikat.
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan
kemanusiannya terletak pada temannya, sedang kesempurnaannya terletak pada
orang lain, mustahil akan mencapai kebahagiaan yang sempurna dalam keadaan
hidup menyendiri. Maka yang berbahagia adalah yang memperoleh banyak teman dan
berusaha keras menyebarkan kebaikankepada mereka untuk ia peroleh dengan
bantuan mereka apa yang tidak dapat ia peroleh secara sendirian, sehingga satu
sama lain mendapatkan kenikmatan ukhuwah ini sepanjang hidupnya[39].
Bahkan keutamaan-keutamaan etika Islam berupa ‘adalah, iffah dan syajaah
hanyalah diperlukan untuk memelihara muamalat dan pergaulan hidup,
dimana kesempurnaan eksistensi manusia tidak sempurna kecuali dengannya.
Dari postulat-postulat tersebut Ibnu Miskawaih
membahas maslah mahabbah dan pergaulan hidup sampai pada kutukan terhadap
kemalasan dan senang santai sebagai keburukan terbesar yang menghalangi
kemanusiaannya sendiri. Sebab itu ia mencela orang-orang zuhud yang mengisolir
diri digunung atau pertapaan yang praktis melenyapkan seluruh keutamaan etika
Islam dimaksud, dan oleh Ibnu Miskawaih dipandang sebagai benda mati dan mayat[40].
BAB III
PENUTUP
1. Nama
lengkap beliau adalah Abu Ali Al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub, Ibn
Miskawah dengan gelar Ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di Rayy ( Iran ) sebelah
selatan kota Teheran Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan
berbeda-beda, M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan
tahun 330 H/941 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Ibnu Miskawaih
berumur cukup panjang dan meninggal dunia di Isfahan pada tanggal 9 safar tahun
421 H/16 februari 1030 M[41].
Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada dibawah pengaruh dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang
sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi’ah.
2. Jumlah
buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah[42],
15 buah sudah dicetak, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 18 buah karyanya yang
dinyatakan hilang[43].
Menurut ahmad Amin, semua karya Ibnu Miskawaih tersebut tidak luput dari
kepentingan filsafat etika. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tidak
mengherankan jika Ia dikenal sebagai moralis dan mendapat julukan Bapak
Etika Islam.
3. Pemaparan
etika Islam menurut Ibnu Miskawaih, diawali dengan pembahasan tentang manusia
dan jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan
etika ialah mengenali jiwa. Sebagaimana dalam muqoddimah Tahdzib al-akhlak
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa tujuan menulis buku tersebut adalah
mengembangkan nilai etika dalam jiwa.
4. Dasar-Dasar
Etika Islam Ibnu Miskawaih
c) Konsep
Manusia
d) Jiwa
Manusia
5. Ajaran
Pokok Etika Islam Ibnu Miskawaih
g) Teori
Fadlail ( Keutamaan )
h) Teori
Kamal ( Kesempurnaan )
i) Teori
Sa’adah ( Kebahagiaan )
j) Teori
Khairat ( Kebaikan )
k) Teori
Mahabbah ( Cinta )
l) Aspek
sosial
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik. et.all, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, cet VIII. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Armando,
Nina M.Armando, et. Al. Ensiklopedi
Islam, jilid 3 Cet VI. Jakarta PT ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Badawi,Abdurrahman.
Miskawaih, dalam M.M Sharif, ( ed
) A History of Muslim Philoshophy, Vol I. Wiesbaden: Otto Harrossowitz,
1963.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid 5, cet IV. Jakarta: PT.
Ichtiar baru Van Hoeve, 2001.
Dida,
Artikel: Manusia Prespektif Ibn Miskawaih ( 17 Juli 2007, http:// darul ulum.
Blogspot.com).
Ibn
Miskawaih. Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju
kesempurnaan akhlak. Jakarta : Mizan, 1999.
Jalaluddin
& Usman Sa’id. Filsafat Pendidikan Islam: konsep dan perkembangan
pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Musthofa, ahmad. Filsafat Islam, Cet III. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2007.
Muhaimin,
et.al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam cet I. Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2005.
Muhaimin. Konsep pendidikan Islam. Solo: Ramadlan, 1991.
Najati,
Muhammad Utsman. Ad-Dirasati an-Nafsaniyyah’inda al-‘ulama all-muslimin,
terj. Gazi Saloom, Jiwa dalam pandangan Filsuf Islam. Bandung: Pustaka
hidayah, 2002.
Nata,
Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Nasution,
Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1983.
Rahmaniyah,
Istighfarotur. Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan etika prespektif Ibnu
Miskawaih dalam kontribusinya di bidang pendidikan. Malang : Aditya Media.
UIN Maliki Pres, 2010.
Rahman,
Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an, terj Anas Mahyuddin. Bandung: Bandung
Pustaka, 1983.
Sudarsono, Filsafat Islam. cet II. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004.
Syarif, MM ( Ed ). Para filsuf Muslim Cet III. Bandung:
Mizan, 1989.
UU
RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Bandung : Citra Umbara, 2006.
Zar,
Sirojuddin Zar. Filsafat Islam : Filsuf dan Filsafatnya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007.
[1] Muhaimin, Konsep
pendidikan Islam ( Solo, Ramadlan, 1991), 9.
[2] UU RI Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI
No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS ( Bandung : Citra Umbara, 2006 ), 76.
[3] Sudarsono, Filsafat
Islam ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 ), cet II, 88.
[4] MM. Syarif (
Ed ), Para filsuf Muslim ( Bandung: Mizan, 1989 ), cet III, 83.
[5] Sudarsono,
h.90
[6] A. Musthofa, Filsafat
Islam ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007) cet. III, 166.
[7] Muhammad
Utsman Najati, Ad-Dirasati an-Nafsaniyyah’inda al-‘ulama all-muslimin,
terj. Gazi Saloom, Jiwa dalam pandangan Filsuf Islam ( Bandung: Pustaka
hidayah, 2002) 85.
[8] Musthofa,
Filsafat Islam..,167.
[9] Ibid 167.
[10] Muhammad
Utsman Najati, 86.
[11] Taufik
Abdullah, et.al, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2000) Jilid 3, cet VIII, 195.
[12] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve,
2001) Jilid 5, cet IV, 162.
[13] M.M Syarif, 90.
[14] A,Mustofa, 168.
[15] Muhaimin,
et.al Kawasan dan Wawasan Studi Islam ( Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2005) cet I, 327-328.
[16] M.M Syarif, 84-85.
[17] Ibn Miskawaih,
Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju
kesempurnaan akhlak ( Jakarta : Mizan , 1999), 30.
[18] Nina
M.Armando, et. Ensiklopedi Islam ( Jakarta PT ichtiar Baru Van Hoeve,
2001) jil 3, cet VI. 89.
[19] Abudin Nata,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
cet. III. H 6
[20] Istighfarotur
Rahmaniyah” Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan etika prespektif Ibnu Miskawaih
dalam kontribusinya di bidang pendidikan “Malang : Aditya Media. UIN Maliki
Press , 2010) h. 112-113
[21] Sebuah sejarah
tentang banjir besar yang ditulis Ibnu Miskawaih pada tahun 369 H/ 979 M
[22] Abdurrahman
Badawi, “ Miskawaih, dalam M.M Sharif, ( ed ) A History of Muslim
Philoshophy, Vol I ( Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963), 469-470.
[23] Al-Qur’an dan terjemahan, Surat
Al-Ashr ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro ), 565.
[24] Dida, Artikel: Manusia Prespektif Ibn
Miskawaih ( 17 Juli 2007, http:// darul ulum. Blogspot.com)
[25] Jalaluddin
& Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam: konsep dan perkembangan
pemikirannya ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 ), 135.
[26] Harun Nasuion,
Akal dan Wahyu dalam Islam ( Jakarta: UI Press, 1983), 8.
[28] Istighfatur
Rahmaniyah, Pendidikan Etika... ,119.
[29] Ibn Miskawaih,
Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju
kesempurnaan akhlak Islam ( Jakarta: Mizan, 1999), 35-36.
[30] Sirojuddin
Zar, Filsafat Islam : Filsuf dan Filsafatnya ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), 133. Jiwa tidak bersifat material tapi immaterial karena adanya kemungkinan jiwa dapat menerima
gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain.
Misalnya Jiwa dapat menerima gambaran hitam dan putih dalam waktu yang sama,
sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu, putih atau hitam saja.
[31] Ikbnu
Miskawaih, terj Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan...,43-44.
[32] Fazlur Rahman,
Tema Pokok Al-Qur’an, terj Anas Mahyuddin ( Bandung Pustaka, 1983 ), 39.
[33] Ibnu
Miskawaih, Tahdzibul-..,18-36 Dan Ibnu Miskawaih terj Helmi Hidayat Menuju
kesempurnaan., 44-53.
[34] Ibid ( Tahdib
al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 46-50 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan
Akhlak, terj Helmi Hidayat, 60-66.
[35] Ibid ( Tahdib
al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 90-94 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan
Akhlak, terj Helmi Hidayat, 89-93.
[36] Ibid ( Tahdib al-Akhlak
wa Tathhir al-Araq), 14-17.
[37] Istighfatur
Rohmaniyah, Pendidikan etika.. , 137-138.
[38] Ibid ( Tahdib
al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 167-165 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan
Akhlak, terj Helmi Hidayat, 149-155.
[39] Ibid ( Tadzhibul
al-Akhlak wa Tathhiral-A’raq), 182
[40] Ibid Tadzhibul..,186-188 & Ibid ( Menuju
kesempurnaan Akhlak ) terj. Helmi Hidayat, 156-159.
